Minggu, 14 November 2010

PERNIKAHAN YANG BERKAH


Abdullah bin Abu Wada’ah adalah seorang laki-laki yang sangat miskin, sehingga kemiskinanan itu tercermin dari garis-garis yang ada di mukanya. Siapa pun yang melihatnya akan berkata kepadanya: “kamu adalah seorang yang miskin!”
Abdullah bin Abu Wada’ah selalu dan terus hadir pada majleis pengajian guru besarnya, yaitu imam masjid Nabawi Madinah dan merupakan guru besarnya, yaitu imam masjid Nabawi Madinah dan merupakan guru besar pada masanya, Said bin al-Musayyib. Dari gurunya inilah dia mereguk ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Setiap kali dia minum dari mata air ilmu yang murni dan bersih ini, dia semakin haus untuk terus merenguknya! Oleh karena itu, dia semakin rajin datang ke majlis pengajian gurunya, namun dia tidak pernah kenyang dengan ilmuh dan hikmah yang mengalir dari lidah imam Besar, Said bin al-Musayyib. Itu semua seakan-akan menjadikan Abdullah bin Wada’ah mendapatkan madu dan air surga yang memuaskannya sehingga rasa persaudaraan dan kasih sayang antara murid dan guru itu.
Hari-hari terus berlalu sedangkan syaikh Sa’id bin al-Musayyib terus menambahkan ilmu dan hikmah ke dalam dada muridnya sehingga cahaya kalam Allah dan mutiara sunnah Nabi terpatri di hati muridnya. Hasilnya, Abdullah bin Wada’ah menjadi seorang murid yang benar-benar rindu dan cinta akan ilmu dan hikmah serta hormat dan ikhlas kepada gurunya;
Imam besar, Sa’id bin al-Musayyib adalah seseorang yang dikaruniai Allah harta yang banyak, ilmu yang luas, serta nasab yang mulia karena dia adalah seorang Suku Quraisy asli. Dia pun seorang yang wara’, zuhud dan bertakwah. Orang-orang sudah tahu bahwa dia telah pergi naik haji ke Baitullah sebanyak lebih dari 30 kali dan selama 40 tahun tidak pernah ketinggalan mendapatkan takbiratul ihram pada setaip shalat jama’ah. Dia tidak pernah tidak berada pada shaf pertama selama 40 tahun tersebut.
Perbedaan materi tidak menjadi penghalang pergaulan anatara guru dan murid tersebut, bahkan semua itu semakin mempererat rasa persaudaraan yang ikhlas lillahi ta’ala yang meyatukan mereka dalam lingkaran cahaya ilahi, sehingga mereka merasa bahwa salah satu dari mereka berdua adalah saudara dari yang lain.
Syaikh Sa’id bin al-Musayyib mempunyai seorang putri yang terkenal sebagai seorang mukminah yang sempurnah karena imannya yang teguh dan ilmunya yang luas tentang Kitabullah dan sunnah Rasulullah saw. Amirul Mukminin, Abdullah bin Marwan atau Hisyam bin Abdul Malik telah mendengar kabar putrinya tersebut dan dia ingin  meminang putri syaikh untuk anaknya atau putra mahkota kerajaanya. Tidak disangkal lagi, Khalifah tentu telah berfikir dengan matang dalam memilih siapa yang cocok menjadi istri putra mahkota yang akan mengisi istanahnya dan akan menjaga nama baiknya dan nama baik  para kakeknya, raja-raja dari Bani Umaiyah. Dia pun mencari wanita berilmu yang akan menjadi pendamping putra mahkota. Semua itu akan menciptakan sebuah pagar yang menjaganya denagan ilmu pengetahuannya. Dia telah menemukan apa yang dicarinya tersebut pada putgri Abu Muhammad Sa’id bin al-Musayyib.
            Datanglah seorang utusan dari Amirul Mukminin kepada Sa’id bin al-Musayyib untuk menyampaikan keinginan Amirul Mukminin tersebut. Akan tetapi, Sa’id hanya menjawab: “Tolong sampaikan kepada Amirul Mukminin bahwa saya menolak pinangan ini.” Utusan itu berkata:” Apa alasan Anda?” Dia menjawab:”Karena putra mahkota adalah laki-laki yang tidak terpuji prilakunya selama ini.” Kemudian utusan tersebut mulai merayu: “Apakah engkau menolak kekuasaan, kemegahan, kekayaan dan harta benda yang melimpah ruah? Apakah engkau menolak kekuasaan Amirul Mukminin?” Setelah gagal merayu, utusan itu memakai kekerasan: “Saya khawatir, apabilah anda merasakan kekerasan hukuman Amirul Mukminin yang tidak terpikul oleh manusia akibat siksaan Amirul Mukminin yang tidak terpikul oleh manusia akibat siksaan dan kehinaannya.” Sa’id menjawab:”Allah telah berfirman:
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman……”(al-Hajj:38)
            Cara apapun tidak dapat melunakkan kehendak Sa’id bin al-Musayyib dalam menolak perkawinan ini.
            Dengan kecerdasan ilmu dan cahaya ketakwaannya, imam besar itu dapat memahami bahwa tujuan khalifah meminang anaknya adalah untuk memasukkannya ke dalam “sangkar emas” di istananya. Dia menyadari bahwa putrinya tidak akan merasakan kenikmatan istana denagan kain sutra, emas, perak dan pembantu,  tetapi akan masuk ke dalam neraka Bani Marwan yang menyala dari lidah mereka. Dia pun meyadari bahwa kelak Allah pasti akan meminta pertanggung jawabannya tentang anaknya ketika Allah mendirikan dan menghadapkan Amirul Mukminin dan anak-anaknya serta para pembantunya dari ulah perbuatan mereka bersam orang-orang yang zhalim, perampaas dan para pembaut kerusakan di muka bumi. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk tidak megawinkan anaknya dengan anak sultan atau dengan tongkat kebesaran.
            Pada hari selanjutnya, ketika guru besar itu sedang menyampaikan pengajiannya di masjid Nabi saw., dia tidak menemukan seorang muridnya, yaitu Ibnu Abu Wada’ah selama tiga hari berturut-turut dan dia pun tidak mengetahui sebab ketidakhadirannya.
            Ketika Sa’id sampai di rumahnya, dia bertemu dengan putrinya yang memancarkan sinar ilmu yang dipadu dengan sinar kecantikannya. Dia segera bertanya kepada ayahnya: “Wahai ayah, apa tafsiran dari ayat Al-Qur’an ini:
‘….”Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,” dan tiadalah baginya bagian (yang menyenagkan) di akhirat.’(al_Baqarah:200)
Jadi apakah kebaikan dunia itu, wahai ayah?
Dia menjawab: “wahai anakku, ia hanyalah boleh disebut apabilah disebut beriringan denagan kebaikan akhirat sedangkan aku tidak melihat kebaikan dunia untuk laki-laki kecuali dengan wanita yang saleh dan tidak pula untuk wanita kecuali dengan…” Ketika itu, belum sempat beliau menyumpurnakan perkataannya, tiba-tiba ada seseorang mengetuk pintu dan ternyata dia adalah Abdullah bin Wada’ah, murid yang disayanginya.
            Syaikh memulai bertanya kepada mjuridnya itu:” Kemana saja kamu selama ini, wahai Ibnu Abu Wada’ah?” Dia menjawab: “Istriku meninggal dunia, hal itu cukup menyibukkankku dari menghadiri majlismu dan aku mohon maaf.”
            Syaikh berkata:”Mengapa kamu tidak memberitahu kami sehingga kami dapat bertakziah dan ikut membantumu berbagi rasa?” Kemudian Syaikh itu menasehatinya panjang lebar dan menerangkan kepadanya tentang surga, neraka dan hisab kubur sehingga seakan-akan dia melihat gambaran kubur yang dihuni istrinya, sehingga air matanya pun mengalir.
Setelah Ibnu Abu Wadda’ah pergi, pembicaraan antara Syaikh dan putrinya dilanjutkan kembali:”…..dan tidak pula untuk wanita kecuali denagan laki-laki yang”, maka seuana menjadi hening sedangkan di kepala Syaikh terwujud bayangan dan gambaran Abdullah bin Abu Wada’ah.
Setelah itu, syaikh bertanya kepada muridnya tersebut:”Apakah kamu mau kawin lagi dengan wanita yang lain?”Ibnu Abu Wada’ah menjawab:” Wahai Tuhanku, semoga Allah merahmati Anda, apalah yang aku miliki dari dunia sekarang ini dan siapakah yang mau kawin denganku sedangkan aku hanya mempunyai uang tiga dirham?” Syaikh menjawab:”saya!”
Pada saat itu Ibnu Abu Wadda’ah menceritakan perasaannya dan berkata:”Begitu aku mendengar dari Sa’id perkataan “saya”, maka aku berkata kepada diriku sendiri:’Apakah kiranya yang dimaksud oleh Syaikh? Barangkali dia bermaksud membantuku dengan sedikit harta agar aku dapat menemukan seorang wanita yang sesuai dengan sedikit harta agar aku menemukan seorang wanita yang sesuai dengan keadaan keuanganku, karena aku adalah seorang fakir yang tidak mempunyai harta kekayaan…..atau barangkali dia bermaksud mencarikan untukku seorang wanita miskin pula yang akan relah menikah denganku.’ Ibnu Abu Wada’ah melanjukan perkataannya:”Ketika aku tengelam dalam perkataan “saya” dari Syaikh, seakan-akan segala yang ada di alam menyanyikan lagu “saya”…..dan bahkan terbayang olehku bahwa Sa’id meletakkan tangannya dia atas tangganku di depan khalyak ramai di masjid Nabi saw. Kemudian dia membaca Bismilah dan memuji-Nya serta bershalwat kepada Nabi saw dan berkata: ‘wahai kaum muslimin bersaksilah kamu bahwa Sa’id bin al-Musayyib telah menikahkan putrinya Fulanah dengan Abdullah bin Abu Wada’ah sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw dengan mahar seharga tiga dirham. Kemudian dia menutup ucapannya dengan salam kepada Rasulullah saw dan berdoa dengan kebaikan kepada Allah.”
Setelah itu, Sa’id duduk sambil menerangkan makna dari hadits Nabi saw:
Barang siapa yang menikahi seorang wanita karena hartanya, maka Allah tidak akan menambah untuknya kecuali kefakiran, barang siapa yang menikahi seorang wanita karena nasabnya, maka Allah tidak akan menambah untuknya kecuali kehinaan, dan barangsiapa yang menikahi seorang wanita karena agamanya, maka Allah akan memberkahi laki-laki itu dengannya dan akan memberkati wanita itu dengannya
25 Hadits Dha’if Jiddan, dikeluarkan oleh Abu Na’im dalam kitab Al-Hidayah,5;
                pada waktu Magrib, Abdullah bin Wada’ah sedang berada dirumahnya yang sederhana untuk berbuka puasa. Tiba-tiba dia mendengar beberapa ketukan di pintu, keudian dia berkata:’siapaka yang mengetuk pintu?” Pengetuk menjawab: “Sa’id” aku telah menyangkah bahwa Sa’id manapun yang mengetuk pintu rumahku pada malam ini maka tidak lain dan tidak bukan adalah Sa’id bin Musayyib. Kemudian aku membuka pintu dalam keadaan takut dancemas karena barangkali Syaikh berbalik dari perkataan yang telah diucapkannya atau barangkali wanita yang dia carikan tersebut menolak untuk menikah denaganku. Akan tetapi, ketika aku membuka pintu tiba-tiba aku melihat Sa’id datang bersama denagn putrinya yang terlihat dengan pakaian pengantinnya sedangkan bersamanya ada beberapa gadis yang membawah hadiah-hadiah. Kemudian Syaikh berkata:” Sekarang ini kamu adalah seorang laki-laki yang sedang membujang (duda), maka hendaklah engkau menikah karena aku khawatir pada malam ini engkau akan tidur sendirian dan inilah istrimu…..” Setelah itu dia meningalkan tempatku dan pulang ke rumahnya sedangkan aku bersama dengan sang pengantin tetap berada dirumah suaminya.
            Sebelum itu aku sudah mengetengahkan makanan yang akan aku makan untuk berbuka puasa yang terdiri atas kacang, minyak, sepiring gandum dan segelas air putih (bening). Pada waktu makan aku agak menjauh dari pandangan pengantinku agar untuk pertama yang dilihatnya di rumahku bukanlah makanan yang sangat sederhana ini. Kemudian aku naik keatas atap rumaku dan berteriak:”Wahai fulan! Wahai fulan!” Kemudian sebagian ada yang menjulurkan kepalanya kepadaku dari jendelah mereka dan berkata:”Ada apa, wahai Abdullah?” aku menjawab: “Saya bersaksi kepada kalian bahwa Sa’id bin Musayyib telah menikahkan putrinya untukku dan sesungguhnya dia sedang berada di rumahku sekarang ini sejak malam ini. Hal ini sengaja aku sampaikan kepada kalian supaya kalian tidak menyangka hal- hal yang tidak baik kepada saya apabilah kalian mendengar dirumahku ada suara wanita.” Sebagian mereka menjawab: “Apakah kamu sedang bergurau, wahai Ibnu Wada’ah?” Dan sebagian lain berkata:” Apakah dia sudah gila? Bagaimana mungkin dia akan menikahkan putrinya denganmu sedangkan dia sudah menolak lamaran putra mahkota Amirul Mukminin?” Aku berkata:”Syaikh telah menepati janjinya kepadaku dan sungguh putrinya itu sedan berada  di rumahku saat ini!” Kemudian sebagian laki-laki dari tetanganya mengutus istri-istri mereka untuk memeriksa kebenaran perkataan Ibnu Abu Wada’ah. Mereka pun menemukan putri Sa’id di rumahku, lalu mereka kembali kerumah masing-masing untuk mengatakan kepada suami mereka bahwa putri Sa’id benar-benar telah menjadi istri Ibnu Abu Wada’ah. Setelah itu semua laki-laki dan p[erempuan dari tetangaku datang kerumahku untuk mengucapkan selamat dan pesta sederhana. Pesta itu pun selesai dalam yang singkat. Walaupun sanggat sederhana, pesta itu mencerminkan kebahagian hati yang memenuhi langit dan bumi yang dilahirkan dari cinta karena Allah.
            Ketika Syaikh Sa’id bin Almusayyib ditanya orang tentang alasannya menikahkan putrinya dengan Abdullah dia menjawab:”Aku tidak pernah memandang masalah kaya atau miskin dalam menikahkan putriku denagan seorang, tetapi aku melihat seorang laki-laki yang aku kenal sebagai pahlawan dari para pahlawan kehidupan yang mempunyai senjata agama dan kemuliaan akhlak. Aku yakin bahwa ketika aku mengawinkan putriku dengannnya, dia akan memahami kemuliaan darinya dan kemuliaan suaminya. Oleh karena itu, bertemualh dua tabiat yang harmonis sedangkan kebahagiaan tidak akan timbul dari laki-laki dan wanita apabila tabiat mereka tidak cocok. Saya tahu dan semua orang juga tahu bahwa tidak ada satu pun di dunia ini yang akan dapat membeli kecocokan atau keharmonisan ini karena itu merupakan hadiah satu hati kepada hati yang lain sehingga keduanya saling terbiasa dan saling men-cinta.”
            Ibnu Wada’ah berkata:” Satu Minggu aku lewati masa pengantin baruku, seakan-akan aku berada di taman surga setelah itu aku minta izin kepadanya untuk keluar. Dia bertanya:”Mau kemana?” Aku menjawab: “Untuk menghadiri kuliah Sa’id.”Dia menjawab:” Duduklah disisni, aku akan mengajarkan kepadamu ilmu-ilmu Sa’id!”

Refrensi
Asy Syahawani,M.M.2001.Mempertajam Kepekaan Spritual.Bina Wawasan:Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar